Monday, May 5, 2025

Kredibilitas Organisasi Profesi dalam Sorotan Cash back BUMN


Musi Rawas,Sahabatsiber.com - K
asus dugaan aliran dana dari Kementerian BUMN kepada sejumlah pihak, termasuk tokoh-tokoh dalam organisasi profesi  Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), telah mengguncang fondasi kepercayaan publik. Terlebih lagi, kasus ini memunculkan fenomena dualisme kepemimpinan di tubuh PWI, sebuah organisasi yang seharusnya menjadi panutan dalam menjunjung etika, integritas, dan independensi pers.


Organisasi profesi, terutama yang menyangkut profesi strategis seperti kewartawanan, semestinya berdiri di atas kepentingan publik, bukan menjadi bagian dari konflik kepentingan atau alat kekuasaan. Ketika elite organisasi diduga menerima dana dari kementerian, publik berhak mempertanyakan objektivitas, integritas, dan arah perjuangan organisasi tersebut.


Dualisme kepemimpinan yang muncul tak hanya mencoreng nama baik organisasi, tetapi juga menimbulkan kebingungan di kalangan anggota dan masyarakat pers. Apakah PWI sedang memperjuangkan kemerdekaan pers, atau malah terjebak dalam tarik-menarik kepentingan politik dan kekuasaan?


Kasus ini menjadi peringatan penting bahwa reformasi di tubuh organisasi profesi mutlak diperlukan. Transparansi dalam pendanaan, pemilihan kepemimpinan yang demokratis, dan pembatasan hubungan dengan lembaga kekuasaan harus diperkuat. Tanpa itu semua, kredibilitas PWI—dan organisasi sejenisnya—akan terus merosot.


Antara Etika Profesi dan Kepentingan Kekuasaan


Kredibilitas organisasi profesi kembali diuji. Dugaan aliran dana dari Kementerian BUMN yang menyeret nama-nama tokoh penting dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tidak hanya menimbulkan kegaduhan, tetapi juga mengungkap problem mendasar: lemahnya integritas pengurus dalam menjaga independensi profesi.


Pengurus organisasi profesi seharusnya menjadi teladan moral dan etika, bukan malah terlibat dalam transaksi yang berpotensi mencederai prinsip dasar jurnalisme. Jika benar terjadi penerimaan dana yang tak transparan dari institusi negara, maka ini bukan sekadar pelanggaran etika, tapi juga pengkhianatan terhadap amanah publik yang diemban oleh profesi wartawan.


Seperti yang di lontarkan para tokoh senior PWI dengan menekan Etika profesi 


1. Atal S. Depari (Ketua Umum PWI Pusat):


Dalam Kongres XXV PWI, Atal menegaskan pentingnya menjaga kode etik jurnalistik di tengah tantangan perkembangan teknologi dan informasi digital.  Ia menyatakan bahwa insan pers harus tetap memegang teguh kode etik jurnalistik untuk menghasilkan pemberitaan yang autentik dan berkualitas.  


2. Sasongko Tedjo (Dewan Kehormatan PWI):


Sasongko menekankan bahwa marwah profesi wartawan harus ditegakkan melalui karya jurnalistik berkualitas dan taat pada etika profesi.  Ia juga mendukung penuh langkah PWI Pusat yang menjadikan Uji Kompetensi Wartawan serta sosialisasi etika profesi sebagai program prioritas.  


3. Hilman Hidayat (Ketua PWI Jawa Barat):


Hilman mengingatkan bahwa PWI harus menjadi organisasi yang profesional dan bermartabat.  Ia menegaskan bahwa jika ada anggota yang melanggar kode etik, jangan segan untuk memecat dari keanggotaan PWI. 


Situasi kian runyam dengan munculnya dualisme kepemimpinan di tubuh PWI. Alih-alih merespons krisis ini dengan keterbukaan dan tanggung jawab, justru yang muncul adalah perebutan legitimasi dan wacana saling klaim. Akibatnya, organisasi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas pers justru larut dalam konflik internal yang melemahkan fungsinya di mata publik.


Sorotan tajam masyarakat terhadap pengurus bukan tanpa alasan. Wartawan dituntut mengawasi kekuasaan, tapi bagaimana mungkin menjalankan fungsi itu jika organisasi tempat mereka bernaung justru diduga menjadi bagian dari lingkar kekuasaan itu sendiri?


Jika  PWI ingin terjaga marwah kepercayaan, para pengurusnya harus berani mengambil langkah korektif: mengedepankan transparansi, membuka diri terhadap audit independen, dan mengutamakan kepentingan anggota serta publik di atas kepentingan pribadi maupun politik. Itu bukan  melapor balik cari kebenar  diri (SMSI)


No comments:

Post a Comment